Akibat
proses pembuatan kopi kothok yang sederhana, sehingga memperkecil
diferensiasi rasa, beberapa pemilik kedai kopi menambahkan bahan-bahan
ke dalam proses pembuatannya. Tujuannya adalah menciptakan cita rasa
yang unik dan otentik, yang bisa menjadi pembeda kedai kopi satu dengan
yang lain.
Kedai kopi Mbah Seger, contohnya, menambahkan
potongan-potongan kelapa saat menyangrai biji kopi. Mak War membubuhi
daun salam dan cengkeh saat proses penyimpanan. Sementara Mak Pi,
junjungan para penikmat kopi kothok di Cepu, tak menambahkan apa pun
selain makian dan sumpah serapah saat menyeduh wedangnya.
Bahan
tambahan juga dipakai oleh beberapa kedai kopi anyar. Menyadari bahwa
konsumen kopi di Cepu tak bisa digaet hanya dengan bermodalkan wifi
kencang, beberapa pemilik kedai menyingkirkan gula pasir dan
menggantinya dengan gula aren. Beberapa yang lain bereksperimen dengan
garam dan sereh. Dan tak ada satu pun eksperimen itu yang berhasil.
Maka,
ketika Kalis Mardiasih mengajak saya bertandang ke kedai kopi santan di
Jepangrejo, Blora, reaksi pertama saya adalah menolaknya. Pemilik kedai
itu pastilah sedang membuat lelucon seperti kolega-koleganya di Cepu,
pikir saya. Dan buat apa jauh-jauh ke Blora bila hanya untuk mencicipi
secangkir horor?
Namun, bukan Kalis Mardiasih namanya kalau tak
mampu mendapat anggukan kepala. Dengan gigih ia membujuk, merayu,
memohon, hingga akhirnya mengancam agar saya menemaninya ngopi di sana.
Singkat cerita, akhirnya kami berangkat ke Blora.
Berhubung tak
ada satu pun dari kami yang pernah ke sana, perjalanan kami amat mudah
diprediksi: kami kesasar. Riwayat hidup Kalis yang lahir dan besar di
Blora juga tak membantu; ia hanya tahu letak desa Jepangrejo, yang
ternyata cukup jauh dari pusat kota Blora. Dan desa itu luas sekali,
membuat sesi kesasar kami nyaris membuat putus asa. Namun, disitulah
letak ketenaran sebuah kedai kopi bekerja; kami diberi petunjuk arah
dengan amat detail oleh orang-orang yang kami tanyai, meski kami kesasar
berkilo-kilo jauhnya. Mengikuti semua petunjuk yang diberi, perjalanan
kami kemudian terasa lancar.
Desa Jepangrejo berada di Kecamatan
Blora, Kabupaten Blora. Gerbangnya cukup sempit dan tak mencolok, yang
membuat pengelana tanpa peta seperti kami amat mudah kesasar. Sawah dan
tegalan yang luas menyambut setelah gerbang, dengan jalanan yang diapit
deretan pelbagai macam pohon peneduh. Jalanan itu, di pagi dan sore,
tampaknya amat cocok untuk lokasi pemotretan prewedding.
Kedai
kopi santan itu sendiri berada di tengah kampung. Jumlah motor yang
terparkir di pelatarannya bisa dijadikan indikator betapa fenomenalnya
kedai tersebut. Belasan pemuda ngopi di teras, menggelar papan catur
atau bermain gitar atau sekadar bercengkerama dengan ponselnya.
Kami
memilih ngopi di dalam. Dan, ya ampun, ruangan itu luas betul. Meski
ditempati oleh beberapa meja panjang dan bangku-bangku dan almari
pajang, kesan lega masih terasa. Tak menghimpit seperti bila saya
mengopi di Mbah Seger atau Mak Pi. Ruangan itu, saya taksir, mampu
menampung puluhan orang sekaligus, bahkan ratusan andai yang tak
kebagian tempat duduk sudi menggelar tikar.
Tapi, siang itu
lengang. Hanya ada sepasang pemuda dan tiga orang tua yang ngopi di
dalam. Kami memilih meja di sisi dekat jendela, dan seorang wanita paruh
baya berjalan menghampiri kami.
“Pakai santan atau tidak?” tanya
wanita itu. Kami mengiyakan sambil memesan es teh. Bagaimanapun, kopi
bukanlah minuman yang tepat untuk orang-orang yang baru saja kesasar di
hari yang terik.
Penasaran dengan proses pembuatan kopi santan,
saya hampiri wanita tersebut. Dapurnya berupa bilik yang menjadi satu
dengan ruangan depan tempat orang-orang menikmati kopinya. Suara mesin
diesel memekakkan telinga ketika ia sedang menggiling kelapa.
“Bu Rukmini nama saya, Mas,” jawabnya saat saya bertanya basa-basi perihal namanya. “Biasa dipanggil Bu Ruk.”
Bu
Rukmini mengizinkan saya melihat proses pembuatan kopi santan sambil
terus bercerita. Ia, tuturnya, adalah generasi kedua keluarga peracik
kopi santan. Ibunyalah yang membuka usaha itu ketika Bu Rukmini masih
kecil, dan menaksir usianya yang hampir setengah abad, tentulah usaha
kopi santan ini telah puluhan tahun umurnya.
Kopi santan sendiri
nyaris sama dengan kopi kothok dalam hal pembuatannya. Bedanya, kopi
santan sama sekali tak memakai air. Santan segar yang telah diperas tadi
dicampur dengan bubuk kopi dan gula, lalu direbus sambil terus diaduk.
“Kopinya juga digoreng sendiri, Mas,” aku Bu Rukmini. “Bubuk kopi di pasar ndak ada yang manteb.”
Kopi
kami siap sudah. Awalnya saya curiga kalau yang ia sajikan adalah kopi
susu, sebelum akhirnya saya tahu kalau ternyata memang begitulah
warnanya: coklat muda. Berlagak seperti bintang iklan kopi di tv, kami
serentak membuka tutup gelas dan menghirup aromanya dengan penuh gaya.
Aromanya gurih, hampir tak tercium bau kopi di situ.
Saat
menghirupnya, harus saya akui bahwa ini kopi paling gurih yang pernah
ada. Citarasa santan yang kuat berpadu dengan semua kebaikan kopi
robusta, dan di tegukan pertama saya seolah sedang menikmati kopi susu
dan kolak sekaligus. Citarasa seperti ini, barangkali, tak akan bisa
ditemui di kedai lain.
Memang, sih, agak aneh. Tapi, itu
barangkali akibat lidah saya yang telanjur akrab dengan kopi kothok
biasa, bukan yang dengan santan. Dan tegukan berikutnya, ketika lidah
saya telah beradaptasi dengan gurih yang menggigit, citarasa kopi santan
ini tak lagi membuat saya bergidik.
Kedai
kopi Bu Rukmini kerap dikunjungi pejabat daerah. Itu dibuktikan oleh
beberapa foto yang tergantung di dinding ruang, menampilkan Bu Rukmini
berpose di depan kedainya dengan diapit oleh orang-orang berseragam
dinas.
“Kepala listrik itu, Mas,” terang Bu Rukmini sambil
menunjuk satu foto, yang barangkali dimaksudkannya sebagai kepala kantor
PLN setempat. “Yang di kiri-kanan itu anak buahnya.”
Ia lalu
menunjuk satu demi satu orang-orang yang ada di foto berikutnya. Dengan
berseri-seri ia menceritakan siapa mereka, jabatan apa yang mereka
sandang ketika datang berkunjung, dan kapan foto itu diambil. Ingatan Bu
Rukmini, mengingat usianya yang tak lagi muda, sungguh tajam.
Namun,
ada satu foto yang tak lagi membuatnya berseri, melainkan kehilangan
kata-kata untuk sesaat. Di foto itu Bu Rukmini menjadi fokus gambar
bersama seorang pria paruh baya yang mengenakan jersey motocross, lengkap dengan noda lumpurnya. Mereka tersenyum lebar di situ.
“Pak Bupati, Mas, Joko Widodo,” kata Bu Rukmini, “Orang baik, dia itu. Sudi mampir ke warung kecil kayak begini.”
Entah
kenapa, saya jadi teringat Mak Pi. Sama-sama peracik kopi ulung,
sama-sama mengabdikan hidup untuk mengobati sakau kafein para pelanggan,
tetapi yang berkunjung ke kedai Mak Pi hanyalah tukang parkir, debt collector,
preman pasar, dan remaja bandel. Andaipun ada pelanggannya yang
berseragam dinas, bisa dipastikan itu adalah PNS nakal yang bolos jam
kerja.
Bu Rukmini juga bercerita bahwa ia pernah masuk tv. Ia
didatangi serombongan orang yang tampak sibuk menenteng kabel dan kamera
dan lampu-lampu, lalu ditanyai macam-macam dan direkam selama itu.
Beberapa hari kemudian, ia mendapati dirinya masuk program acara salah
satu stasiun tv.
“Ndak nyangka, Mas, wong ndeso kayak saya masuk tv,” ujarnya bangga. “Mas bisa lihat tayangannya di internet, di…apa itu namanya? YouTube?”
Semakin
sore, pelanggan semakin ramai berdatangan. Meja-meja panjang yang
tadinya lengang kini riuh oleh obrolan dan gelak tawa, dan yang duduk
membisu sedang menekuri bidak caturnya. Aroma santan dan kopi dan asap
kretek tak terbasuh oleh rinai gerimis sore itu.
Namun, kami harus
pulang. Kalis, yang bertindak sebagai tuan rumah, menghampiri Bu
Rukmini untuk membayar, sembari memesan dua bungkus untuk saya bawa
pulang.
Penasaran dengan harganya, saya tanyai Kalis ketika kami
sudah berada di pelataran. “Tiga ribu,” jawab Kalis, “mahalkah
dibandingkan harga kopi di Cepu?”
Saya menggeleng. Itu bahkan
harga yang terlalu murah untuk menikmati citarasa nirwana—kopi kothok
yang amat payah rasanya di Cepu dihargai lebih mahal ketimbang itu.
Tapi, tak saya katakan itu padanya. Gelengan kepala sudah cukup sebagai
jawaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar